By Ust.Cahyadi Takariawan
sumber : www.hasanalbanna.com
Akhir-akhir ini kian banyak buku yang
membicarakan rumah tangga islami. Seminar dan diskusi tentang hal ini di
berbagai kota pun tak pernah sepi dari peserta. Alhamdulilah, hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan kebutuhan membentuk rumah tangga islami itu semakin luas di tengah masyarakat.
Di sisi lain, kita melihat kenyataan
masyarakat, betapa banyak keluarga muslim tidak menampakkan kehidupan
yang islami. Berbagai sarana kemaksiatan dibiarkan bebas digunakan tanpa
kendali. Berbagai perhiasan mubazir dipajang sebagai pelengkap
keindahan rumah. Lebih parah lagi, masing-masing anggota keluarga tidak
menetapi adab islami, lantaran ketidaktahuan atau lebih tepatnya
ketidakmautahuan dengan hal itu.
Wajar jika kemudian timbul pertanyaan
kritis, “Apa sebenarnya yang dimaksud dengan rumah tangga islami itu?
Bagaimana indikasinya? Apakah tolak ukurnya? Apakah rumah tangga yang
disebut islami itu hanya apabila di dalamnya bersemayam anggota keluarga
yang semua beragama Islam? Apakah lantaran rumahnya berhiaskan stiker
dan gambar-gambar yang bernuansa Islam? Atau karena sang suami berkopiah
dan istrinya berkerudung?”
Pengertian Rumah Tangga Islami
Menurut Ensiklopedia Nasional jilid
ke-14, yang dimaksud dengan “rumah” adalah tempat tinggal atau bangunan
untuk tinggal manusia. Kata ini melingkup segala bentuk tempat tinggal
manusia dari istana sampai pondok yang paling sederhana. Sementara rumah
tangga memiliki pengertian tempat tinggal beserta penghuninya dan
apa-apa yang ada di dalamnya.
Secara bahasa, kata rumah (al bait) dalam Al Qamus Al Muhith
bermakna kemuliaan; istana; keluarga seseorang; kasur untuk tidur, bisa
pula bermakna menikahkan, atau bermakna orang yang mulia. Dari makna
bahasa tersebut, rumah memiliki konotasi tempat kemuliaan, sebuah
istana, adanya suasana kekeluargaan, kasur untuk tidur, dan aktivitas
pernikahan. Sehingga rumah tidak hanya bermakna tempat tinggal, tetapi
juga bermakna penghuni dan suasana.
Rumah tangga islami bukan sekedar
berdiri di atas kenyataan kemusliman seluruh anggota keluarga. Bukan
juga karena seringnya terdengar lantunan ayat-ayat Al Qur’an dari rumah
itu, bukan pula sekedar karena anak-anaknya disekolahkan ke masjid waktu
sore hari.
Rumah tangga islami adalah rumah tangga
yang di dalamnya ditegakkan adab-adab islami, baik yang menyangkut
individu maupun keseluruhan anggota rumah tangga. Rumah tangga islami
adalah sebuah rumah tangga yang didirikan di atas landasan ibadah.
Mereka bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasehati dalam
kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar, karena kecintaan mereka kepada Allah.
Rumah tangga islami adalah rumah tangga
teladan yang menjadi teladan yang menjadi panutan dan dambaan umat.
Mereka betah tinggal di dalamnya karena kesejukan iman dan kekayaan
ruhani. Mereka berkhimat kepada Allah Swt. Dalam suka maupun duka, dalam
keadaan senggang maupun sempit.
Rumah tangga islami adalah rumah yang di dalamnya terdapat sakinah, mawadah, dan rahmah
(perasaan tenang, cinta dan kasih sayang). Perasaan itu senantiasa
melingkupi suasana rumah setiap harinya. Seluruh anggota keluarga
merasakan suasana “surga” di dalamnya. Baiti jannati, demikian slogan mereka sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw. Subhanalah!
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar Ruum: 21)
Hal itu terjadi karena Islam telah
mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang berskala individu
maupun kelompok, hubungan antarindividu, antarkelompok masyarakat,
bahkan antarnegara. Demikian pula, dalam keluarga terdapat
peraturan-peraturan, baik yang rinci maupun global, yang mengatur
hubungan individu maupun keseluruhannya sebagai satu kesatuan.
Inilah ciri khas rumah tangga islami.
Mereka berserikat dalam rumah tangga itu untuk berkhidmat pada aturan
Allah swt. Mereka bergaul dan bekerja sama di dalamnya untuk saling
menguatkan dalam beribadah kepada-Nya.
Konsekuensi- konsekuensi Rumah Tangga Islami
Dari pengertian di atas, rumah tangga
islami ternyata memiliki banyak konsekuensi. Paling tidak, ada sepuluh
konsekuensi dasar yang menjadi landasan bagi tegaknya rumah tangga
islami, yakni
1. Didirikan di atas landasan ibadah
Rumah tangga islami harus didirIkan
dalam rangka beribadah kepada Allah semata. Artinya, sejak proses
memilih jodoh, landasannya haruslah benar. Memilih pasangan hidup
haruslah karena kebaikan agamanya, bukan sekedar karena kecantikan,
harta, maupun keturunannya.
Prosesi pernikahannya pun sejak akad
nikah hingga walimah tetap dalam rangka ibadah, dan jauh dari
kemaksiatan. Sampai akhirnya, mereka menempuh bahtera kehidupan dalam
suasana ta’abudiyah (peribadahan) yang jauh dari dominasi hawa nafsu. ”Dan Aku tidak menciptkan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Adz Dzariyat: 56)
Ketundukan sejak langkah-langkah awal
mendirikan rumah tangga setidaknya menjadi pemacu untuk tetap tunduk
dalam langkah-langkah selanjutnya. Kelak, jika terjadi permasalahan
dalam rumah tangga, mereka akan mudah menyelesaikan, karena semua telah
tunduk kepada peraturan Allah dan Rasul-Nya
2. Terjadi internalisasi nilai-nilai islam secara kaffah
Internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah
(menyeluruh) harus terjadi dalam diri setiap anggota keluarga, sehingga
mereka senantiasa komit terhadap adab-adab islami. Di sinilah peran
keluarga sebagai benteng terkuat dan filter terbaik di era globalisasi
yang mau tak mau harus dihadapi kaum muslimin.
“Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kalian
mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya, setan itu musuh yang
nyata bagi kalian.” (Al Baqarah: 208)
Untuk itu, rumah tangga islami dituntut
untuk menyediakan sarana-sarana tarbiyah islamiyah yang memadai, agar
proses belajar, menyerap nilai dan ilmu, sampai akhirnya aplikasi dalam
kehidupan sehari-sehari bisa diwujudkan. Internalisasi nilai-nilai Islam
ini harus berjalan secara terus-menerus, bertahap dan berkesinambungan.
Tanpa hal ini, adab-adab Islam tak akan ditegakkan.
3. Terdapat qudwah yang nyata
Diperlukan qudwah (keteladanan)
yang nyata dari sekumpulan adab Islam yang hendak diterapkan. Orang tua
memiliki posisi dan peran yang sangat penting dalam hal ini. Sebelum
memerintahkan kebaikan atau melarang kemungkaran kepada anggota keluarga
yang lain, pertama kali orang tua memberikan keteladanan.
“Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian perbuat? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tiada
kalian kerjakan.” (Ash-Shaff: 3-4)
Keteladanan semacam ini amat diperlukan,
sebab proses interaksi anak-anak dengan orang tuanya dalam keluarga
amat dekat. Anak-anak akan langsung mengetahui kondisi ideal yang
diharapkan. Di sisi lain, pada saat anak-anak masih belum dewasa, proses
penyerapan nilai lebih tertekankan pada apa yang mereka lihat dan
dengar dalam kehidupan sehari-hari. Tak banyak manfaatnya orang tua
menyuruh anak-anak rajin menegakkan sholat tepat waktunya, sementara ia
sendiri selalu asyik melihat acara televisi saat adzan maghrib atau
isya’.
4. Penempatan posisi masing-masing anggota keluarga harus sesuai dengan syari’at
Islam telah memberikan hak dan kewajiban
bagi masing-masing anggota keluarga secara tepat dan manusiawi. Apabila
hal ini ditepati, akan mengantarkan mereka pada kebaikan dunia dan
akhirat.
”Dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang dikarunikan Allah kepada sebagian kamu, lebih banyak
dari yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang
mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah Allah sebagian dari karunia-Nya.” (An Nisa’:32)
Masih banyak keluarga muslim yang belum
bisa berbuat sesuai dengan tuntutan Islam. Betapa sering kita dengar
keluhan keguncangan di sebuah rumah tangga muslim bermula dari tak
terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing. Suami hanya menuntut
haknya dari istri dan anak-anak tanpa mau memenuhi kewajibannya.
Demikian juga dengan istri. Maka bisa diduga, yang terjadi kemudian
adalah ketidakharmonisan suasana.
Masih banyak pula kita dengar kasus
penyimpangan seksual yang dilakukan orang tua maupun remaja. Sumber
bencana itu banyak yang berawal dari ketidakharmonisan dalam rumah
tangga. Fungsi-fungsi tidak berjalan dengan normal, karena katub-katub
curahan perasaan yang tersumbat, dan akhirnya meledak dalam bentuk
penyimpangan-penyimpangan.
5. Terbiasa tolong-menolong dalam menegakkan adab-adab Islam
Berkhidmat dalam kebaikan tidaklah
mudah, amat banyak gangguan dan godaannya. Jika semua anggota keluarga
telah bisa menempatkan diri secara tepat, maka ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan ini akan lebih mungkin terjadi.
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan permusuhan.” (Al Maidah: 2)
Bisa dibayangkan, betapa sulitnya
membentuk suasana islami apabila suasana kerjasama ini tak terwujud.
Salah seorang memiliki kesenangan menonton televisi, hingga semua acara
dilihatnya. Seorang lagi hobi main musik di rumah. Yang lain lagi lebih
banyak keluyuran dan begadang hingga larut malam. Tak ada suasana
tausiyah (saling menasehati) di antara mereka. Lalu bagaimana mereka
bisa merasa sebagai sebuah keluarga muslim?
6. Rumah harus kondusif bagi terlaksananya peraturan Islam
Rumah tangga islami adalah rumah yang
secara fisik kondusif bagi terlaksananya peraturan Islam. Adab-adab
islam dalam kehidupan rumah tangga akan sulit diaplikasikan jika
struktur bangunan rumah yang dimiliki tiada mendukung. Di sisi inilah
pembahasan tentang rumah tangga islami banyak dilupakan.
Dalam budaya masyarakat daerah tertentu
lantaran permasalahan ekonomi, rumah mereka hanyalah bangunan segi empat
tanpa sekat ruang di dalamnya. Ruang tidur tak bersekat dengan ruang
tamu, dapur, bahkan di desa-desa terpencil dengan kandang sapi. Tempat
tidur mereka hanya berupa ranjang bambu yang panjang dan luas. Mereka
sekeluarga tidur berjajar di atasnya. Tidak ada tempat tidur khusus bagi
kedua orang tua yang terpisah dari anak-anak dan ruang tamu. Tidak ada
ruang khusus bagi anak-anak perempuan yang terpisah dengan anak-anak
laki-laki. Berbagai penyakit ruhani akan mudah didapatkan dalam kondisi
semacam itu.
Kenyataan lain dalam masyarakat modern
sekarang, problem perumahan merupakan suatu hal yang mendesak bagi tiap
keluarga. Selain harga tanah yang terus-menerus bertambah tinggi dari
waktu ke waktu, juga kemampuan ekonomi bagi kalangan menengah ke bawah
yang makin tak bisa menjangkau harga perumahan yang bisa dianggap layak
huni. Akibatnya, berbagai kompleks perumahan sederhana, rumah susun
bahkan rumah sangat sederhana, dibangun untuk membantu mengatasi probelm
itu. Ruang-ruang yang amat terbatas dan sempit serta jarak antarrumah
yang hanya berbatas satu tembok merupakan pemandangan yang sudah
dianggap biasa. Berbagai penyakit sosial merupakan ancaman serius dalam
kompleks perumahan semacam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar